Gerombolan Tanpa Otak. Orang Indonesia suka gotong-royong. Korupsi pun secara gotong royong. Keroyokan. Gerombolan. Berjamaah. Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference (2000) mengajukan tesis bahwa semakin banyak orang mengetahui suatu insiden maka semakin tidak pedulilah mereka terhadapnya. Definisi yang hampir sama menyebut tentang perangai, bahwa gerombolan adalah kelompok yang marah dengan terlalu banyak tangan tetapi tidak ada yang punya otak.
Definisi di atas mungkinkah cocok untuk karakter komedian Indonesia ? Bukankah mereka selalu tampil secara gerombolan ? Sejak jaman lawak Trio Los Gilos (1970-an), Bing Slamet Dkk, Jojon & Jayakarta, Srimulat, Warkop DKI, Bagito, Patrio, sampai kontes calon pelawak di API. Bandingkan dengan Tissa Hami (foto). Ia adalah komedian perempuan AS yang muslimah, keturunan Iran, lulusan Master Hubungan Internasional dan kini bekerja di Universitas Harvard, yang selalu tampil melawak secara sendirian.
Sahabat jenaka, tunjukkan analisis cerda Anda, sokur-sokur bila jenaka pula, mengenai fenomena kuatnya sense of gerombolan pada pelaku dunia komedi Indonesia. Juga, mengapa mereka belum ada yang berani terbang solo seperti halnya Tissa Hami ? Saya tunggu ! (BH/13/5/2007).
OPINI MENARIK YANG MASUK :
Pro Adhiey : “Istilah "hafalan" sptnya negatif ya ? Di panggung tak bs hanya hafalan tok, krn ada "chemistry" antara komedian & audiens.” (BH, 2007-06-08 2:17 AM).
“Melawak solo, jika hanya sebatas hafalan menurut saya kurang bagus.harusnya lebih interaktif dan reaktif. utamanya dalam live performance (adhiey, 2007-06-05 9:04 AM).
Pro Doris : “Setuju ttg Miing, Taufik Savalas ; tetapi mereka belum terbuka "cakrawala"-nya, ignorant, atau memilih "begitu saja cukup" alias mandeg. Setuju ga ? (BH, 2007-06-05 2:02 AM).
Pro Doris : “Komedian solo menonjolkan keuinikan tiap individu,sementara komedian keroyokan cenderung "seragam" kayak industri, kurang manusiawi.” (BH, 2007-06-05 1:57 AM).
“Saya pikir, Miing Bagito, Taufik Savalas bs jd pelawak solo yg top, juga Gusdur”. (Doris, 2007-05-30 11:32 AM).
“Sy gak peduli, mau solo atau keroyokan, yg penting lucu, orisinil, gak diulang2, abadi”. (Doris, 2007-05-30 11:21 AM).
“Ha...ha,... lawakan indonesia sudah cukup bagus kok.” (Dani, 2007-05-28 9:03 AM).
Pro GM : “Lawak monolog membosankan ? Mungkin. Tp dengarkan CD-nya Ahmed Ahmed sd Azhar Usman. Contohnya pernah sy tulis di blog ini lho.” (BH, 2007-05-26 2:25 AM )
Pro ADI : “Kursus pelawak ? Blog ini kan jg kursus gratis kan ? Sbg "appetizer" dan doakan moga ada dorongan lbh positif. Ada usul dr yang lain ? Thanks.” (BH, 2007-05-26 1:56 AM)
Pro GM : “Bab ide kursus lawak dari LN, sy pernah kirim surat ke PASKI/Indro. Tak ada balasan. Ya begitulah. Maklum kan ?” (BH, 2007-05-26 1:51 AM)
“Melawak solo resikonya besar, kalo disomasi menteri, KPI, FPI, ormas...ditanggung sendiri.” (Risca, 2007-05-25 1:27 PM).
“Pengin ada pelawak kayak Tissa Hami, spt berharap ada pemain PSSI sekaliber Christiano Ronaldo. “(Risca, 2007-05-25 1:23 PM).
“Kalo nglawak gerombolan, yang gak lucu juga kebagian rezeki.” (ADI, 2007-05-25 11:09 AM).
“Pelawak kita sebenernya lucu-lucu, kalau kita melihatnya sambil tertidur pulas.” (ADI, 2007-05-25 10:59 AM).
“Mas BH bikiin kursus kreatif komedi dong. Pasti banyak yang ikut. Syukur-syukur selain banyak, ayam dan angsa juga mau ikut. He, he, he,...” (ADI, 2007-05-25 10:57 AM).
“Usul agar pelawak solo dunia mau memberikan kursus singkat atau pelatihan dasar dan pencarian ide melawak di Indonesia.” (GM, 2007-05-25 8:49 AM).
“Selalu kembali ke miskinnya kemampuan menggali ide..dan juga damn rating TV. Mungkin di AS, ide bs banyak krn lbh bebas berekspresi.” (GM, 2007-05-25 8:46 AM).
“Lawak monolog bakal membosankan. La wong yg keroyokanpun masih perlu bintang tamu sebagai pemanis.” (GM, 2007-05-25 8:28 AM).
Dear Abdul : “Gepeng juga di Srimulat.Ttp sisanya dan sebagian besoooaar, tetap saja "gotong royong" bukan ?” (BH, 2007-05-25 2:48 AM ).
Utk Joko : “Komedi solo bisa meledek diri sendiri, self-deprecating. Itu momen mengharukan yg butuh mental baja, ttp komedian kita tdk bernyali !” (BH, 2007-05-25 2:35 AM ).
“Budaya meniru masih kental di mindset PELAWAK kita. Meniru sukses PELAWAK terdahulu yg mengandalkan keroyokan.” (BeWe, 2007-05-25 1:11 AM).
“Siapa bilang...!! Komedi lenong biasa dibuka dg monolog yg lucu. Juga para dalang kita...goro2nya sangat di tunggu2.” (Abdul, 2007-05-24 1:27 PM).
“Sebenarnya Tukul maupun Komeng bisa solo, tp mereka masih butuh pasangan utk meledek dan diledekin.” (Joko, 2007-05-24 1:19 PM).
“Kalo sendirian siapa yang jadi Ndoro dan siapa gedibal-nya (Hidup Srimulat !!)” (Risca, 2007-05-24 1:16 PM).
Lha bareng2 aja sering kehabisan ide apalagi kalo sendiri. (Atoen, 2007-05-24 1:15 ). PM
“Ibarat grup musik, ada personel dg msg2 alat. Juga grup lawak ;ada yg sok pinter, pemancing & yg goblok (pesakitan), Three Stooges panutannya khan.” (Bay, 2007-05-15 3:45 AM).
“Anak Indonesia tidak pernah dididik untuk menjadi pribadi mandiri. Rasa PD-nya rendah. Sulit bertanggung jawab.Mk suka keroyokan, spt pelawak2 kita!” (Denny, 2007-05-15 2:34 AM).
tfb
Karena dunia komedi kita masih terjebak tradisi: humor adalah improvisasi.
ReplyDeletePadahal selain itu, ada materi dan latihan. Dalam buku Gene Perret, "How to Write and Sell Your Sense of Humor", ia menceritakan kalau seorang komediwan solo diminta tampil selama lima belas menit, sebaiknya ia sudah memiliki materi selama sejam yang sering dipraktikkan.
Dari situ baru bisa diambil lima belas menit materi yang terbaik.
Ini kontras dengan tradisi komedi kita yang lawak; naik ke pentas dengan arahan seadanya. Mereka pun tampak memiliki aturan komedi sendiri:
1) Intensitas volume berbanding lurus dengan kelucuan. Kalau belum ada yang ketawa, cobalah bersuara lebih keras.
2) Di saat bingung, pura-pura marah-marah aja.
3) Atau ngomong ke penonton. Lantas ejek lawan main.
Intinya, pentas komedi Indonesia "tradisional" adalah ajang pergelutan kekuasaan-->siapa yang bisa mendapatkan tawa lebih deras.
Dengan tradisi itu, tentunya sudut pandang untuk beraksi solo jadi tidak terpikirkan.
Taufik Savalas pernah berusaha pentas solo, namun kurang di materi. Alih-alih stand-up comedy, jadinya "ajang penceritaan ulang lelucon yang pernah Anda dengar, karena toh memang diambil dari internet--tapi ini sudah diterjemahkan, lho."
Mungkin, ketimbang sekolah lawak, bagaimana kalau kita merambah sekolah penulisan komedi saja, Pak Bambang. Tentu saja dalam kurikulumnya ada praktik pementasan. Karena toh, seperti yang disampaikan Judy Carter, penulis komedi sebaiknya mencoba sendiri materi yang ia tulis.
sebenarnya tak hanya komedi yang keroyokan. Coba Anda lihat dunia musik para Indonesia sekarang. Jumlah group band baru bukan kepalang banyaknya. Sedangkan penyanyi solo? saya rasa yang benar2 populer bisa dihitung dengan jari saja. Heranya, pola keroyokan ini lebih disukai oleh parqa remaja Indonesia. Menurut P. Bambang, ini merefleksikan apa ya?
ReplyDelete