Thursday, September 17, 2009

KPK, Polisi dan Goyang Buaya

Oleh : Bambang Haryanto
Email: humorliner (at) yahoo.com



Pembegal. Encyclopedia Britanica 2004 menyebut buaya air tawar yang hidup di Asia dengan nama mugger. Artinya, ya buaya juga. Tetapi dalam bahasa pasaran, slang, bisa pula diartikan sebagai pembegal atau perampok.

Kata buaya kini lagi naik daun. Utamanya ketika mencuat kontroversi perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polri. Seorang pejabat tinggi Polri menyebut KPK sebagai “cicak” dan institusinya sendiri sebagai “buaya” sebagai perbandingan bila antarkeduanya terjadi pertarungan.

Perbandingan unik itu semestinya mampu menggelitik nalar jahil komedian. Sayang, lelucon politik masih merupakan ranah yang mungkin karena kuatnya cengkaman rasa takut dari sisa-sisa masa represif Orde Baru, tidak terampil mengolahnya atau karena alergi, membuat lahan subur olah kreativitas komedi itu justru dijauhi para pelaku dunia komedi kita.

Kembali ke cicak versus buaya. Bagaimana kalau keduanya tidak dipertarungkan, tetapi jutru didamaikan, dan dipersilangkan ? Konsekuensinya : 1. Puluhan ribu asrama Polri dan rumah anggota Polri terancam roboh ketika dinding atau plafon rumahnya dirambati oleh banyak buaya. 2. Muncul lagu anak-anak baru dengan lirik, “Buaya-buaya di dinding, diam-diam merayap/Ngumpet pejabat korup, bisakah kau tangkap ?”, 3. Lagu lamanya Elton John era 70-an, Crocodile Rock, goyang buaya, menjadi hit kembali.

Kita salut terhadap aksi “goyang buaya” yang mencuatkan prestasi dengan tewasnya gembong teroris Noordin M Top di Mojosongo, Solo.

Tetapi untuk goyang yang dikuatirkan mampu mengakibatkan teramputasinya krida aksi pemberantasan korupsi di Indonesia, kita menjadi sangat prihatin.

Bahasa pasaran untuk buaya segera berparade di depan mata. (BH).